Diberdayakan oleh Blogger.


RSS

Beberapa Contoh Kasus Pelanggaran HAM


KONFLIK DAN KEKERASAN DI MALUKU

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku)
PEMBERONTAKAN G30S
       Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
       Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
       Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
       Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
       Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.
       Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
       Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
       Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
       Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
       Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”
       Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
       Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
DIPAKSA KAWIN SIRI DENGAN SEORANG PENGUSAHA
        Seorang anak berinisial WS, Senin, mengadu ke Pengadilan Agama Pekanbaru karena telah dipaksa melakukan kawin siri untuk menjadi isteri ketiga dari seorang pengusaha saat berusia 14 tahun.

       Perempuan asal Kabupaten Kampar itu menyambangi kantor pengadilan bersama anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Pekanbaru, Senin. Kedatangan mereka sempat membuat kehebohan di ruang gugatan pengadilan tersebut karena biasanya "tamu" yang datang adalah pasangan muda yang menginginkan perceraian. Bahkan, pegawai pengadilan terlihat kebingungan dan meminta para wartawan untuk tidak meliput pelaporan WS di ruang gugatan.

       Ketua KPAID Pekanbaru Ekmal Rusdy yang mendampingi WS mengatakan, WS dipaksa menikah siri dengan pengusaha berinisial IN yang berusia 30 tahun lebih tua pada Desember 2007. Pernikahan itu dipaksakan oleh ayah WS, Sutarso, karena IN mengimingi akan memberi modal usaha dan sebidang tanah.

       Menurut Ekmal, IN dan ayah korban adalah rekan kerja di tempat pembuangan sampah. Ia menduga ada alasan himpitan ekonomi yang membuat ayah korban rela memberikan anaknya.
       "Apa yang dilakukan ayah korban sebenarnya melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 26, bahwa orang tua seharusnya melindungi anak yang dibawah umur yakni di bawah 18 tahun untuk tidak dinikahi," katanya.Selain itu, ujarnya, pernikahan siri tersebut juga tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Pernikahan yang berlaku karena korban masih di bawah 18 tahun. Pernikahan keduanya hanya memiliki bukti nikah di selembar kertas, sehingga status keduanya tidak jelas di mata hukum.

       "KPAID berusaha menjembatani anak untuk mendapatkan haknya," katanya.Ekmal mengatakan, korban menderita beban psikologis yang cukup berat akibat pernikahan di bawah umur tersebut. Menurut Ekmal, pernikahan siri tersebut hanya berlangsung selama dua minggu. Perempuan yang hanya lulus SMP itu melarikan diri dari rumah IN dan sempat terlantar di Pekanbaru. Dalam pelariannya, hingga kini korban berusia 16 tahun, WS sempat terjerumus dalam kehidupan malam sebelum akhirnya bekerja di sebuah gerai telepon selular.

       Menurut informasi, IN pernah menganiaya WS dengan mencaci bahkan memukul bocah malang tersebut. WS juga akhirnya mengetahui ternyata janji IN untuk memberikan ayahnya modal dan tanah sebagai janji pernikahan ternyata hanya bohong belaka."Hubungan korban dan orangtuanya sekarang juga terputus," katanya.

       Merasa telah dibohongi dan dinikahi di bawah umur, WS sempat ingin mengadukan nasibnya ke Poltabes Pekanbaru pada Desember 2008. Karena pertimbangan tak ingin ayahnya diseret-seret ke dalam kasus hukum, WS mengurungkan niatnya.Ketua Pokja Pengaduan KPAID Pekanbaru, Yuliantoni, mengatakan pihaknya akan mencari solusi untuk korban dan memberi perlindungan selama proses hukum berlangsung."Korban merasa ketakutan karena takut pada suaminya yang galak," katanya.

       Saat ditemui, WS merasa ketakutan dan enggan menjawab pertanyaan wartawan. Gadis tersebut berkulit hitam manis dan memiliki postur yang cukup tinggi untuk anak seusianya. Dengan mengenakan blazer hitam dan celana jins, WS terlihat kerap menunduk dan menutupi wajahnya dengan kertas ketika ditemui wartawan.Ia hanya mengatakan, dirinya merasa tertekan dan tidak bahagia selama menjalani pernikahan yang dipaksakan itu.
KEKERASAN TERHADAP ANAK
       Di saat rasa terkejut masyarakat belum hilang mendengar kasus pembakaran dua anak balita oleh orangtuanya sendiri, muncul lagi berita bahwa seorang anak disetrika oleh ayah kandungnya.
       Indah Novitasari, balita berusia 3 tahun, yang diduga dibakar orang tuanya awal bulan ini, akhirnya meninggal dunia Senin dini hari lalu setelah di rawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.Sementara, adiknya Lintar Saputra, yang berusia 11 bulan, masih dirawat di RSCM.
       Sebelumnya, dalam kasus berbeda, Siti Ihtiatun Soleha, yang baru berusia 8 tahun, disetrika oleh ayah kandungnya sendiri.Dua insiden yang terjadi pada minggu pertama 2006 menjadi ironis karena tahun ini sudah ditetapkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai tahun penghentian kekerasan terhadap anak.
'Anak bukan milik orangtua'
       Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan penyebab utama kekerasan ini adalah adanya anggapan bahwa anak-anak adalah mutlak milik orang tua.Dia menambahkan situasi itu diperparah oleh buruknya kondisi ekonomi yang dihadapi orangtua.Sebenarnya Indonesia memiliki Undang-undang Perlindingan Anak sejak tiga tahun lalu lewat Undang-undang Nomor 23.Namun nyatanya hingga tahun lalu jumlah kekerasan terhadap anak mencapai hituangan ratusan.
       Juru Bicara Polda Metro Jakarta Kombes I Ketut Untung Yoga Ana mengakui bahwa jumlah kasus kekerasan yang ditangani kepolisian masih rendah.Masalahnya tidak ada sanksi bagi anggota masyarakat yang tidak melaporkan adanya kekerasan terhadap anak.
       Seto Mulyadi menegaskan adalah salah satu upaya pencegahan adalah keikutsertaan anggota masyarakat dalam melaporkan pelanggaran yang terjadi atau diduga terjadi.Dalam UU Nomor 23 itu, pelaku kekerasan terhadap anak diancam hukuman penjara tiga sampai lima tahun dan/atau denda antara Rp 72 juta sampai Rp 100 juta.Apabila pelaku adalah orang tua kandung si anak, maka ancaman hukuman ditambah sepertiga lagi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sama sama ^^

Posting Komentar

Beri Komentar dengan kata-kata yang sopan yaa...
No Spam please ^^
Warning : Please Take Out With Full Credit !